Lonceng al-Wala wal Bara Mazhab Salafi : Like & Dislike
Oleh : Ahmad Anfasul Marom
Beberapa hari lalu (6 Mei 2020), di tengah siang Ramadhan warga net dibangunkan oleh viralnya ceramah singkat Profesoor Noorhaidi Hasan, Guru Besar Politik Islam, UIN Sunan Kalijaga yang diunggah oleh Pantia RDK Masjid Mardliyyah UGM di official Channel Youtube. Belum ada dua jam yang Dislike sudah mencapai kurang lebih 1.5 ribu, sementara yang Like hanya 132 dan yang menonton tapi diam sekitar 4 ribuan. Ada yang berfikir itu kerjaan buzzer tapi menurut saya dari manapun asalnya angka itu tetap mengirimkan sebuah ‘pesan’. Dan selang beberapa menit kemudian video itu diturunkan oleh panitia mungkin karena dapat tekanan dari kanan-kiri dan menghindari keributan di bulan suci.
Perebutan Teritori Salafi vs Progresif
Bagaimanapun keputusan itu sangat disayangkan apalagi video pendek tersebut diproduksi di tengah epistem akademik kampus yang sangat kuat dengan tradisi diskusi. Saya melihat ada beberapa tokoh lain yang juga biasanya mengisi diskusi Ramadhan. Sebut saja Kiai. Machasin, Ust. H. Budi Setiawan, ST. Dr. Najib Azca, Prof. Al-Makin, Lora Abdul Gaffar Karim, dan sederet nama besar lainnya yang saya rasa dalam hal ini sudah melalui proses matang untuk diseleksi masuk dalam deretan penceramah di Program RDK Masjid Kampus UGM. Tapi harus diakui sebagian besar nama-nama itu memang pendatang baru dalam masjid Mardliyyah, aktivitas masjid yang sebelum proses renovasi banyak didominasi oleh kalangan salafi. Tahun ini lebih banyak diisi oleh pakar/akademisi/ustad dari kelompok Islam moderat-progresif seperti Professor Noorhaidi. Nah di sinilah mungkin pemicu masalah yang sebenarnya, renovasi masjid tersebut ternyata tidak hanya perbaikan fisik tetapi juga meliputi ruh keislaman yang menjadi gerakan dakwahnya.
Berdasarkan narasi-narasi yang berkembang, menurut asumsi saya ini persoalan politik territori saja. Ada penghuni Jama’ah lama yang merasa tersingkir selepas proses renovasi tersebut. Akibatnya, video Prof. Haidi yang menyinggung soal Hijrah di Kalangan Anak Muda Musim Perkotaan menjadi peluang pintu masuk untuk ‘menduduki’ kembali. Kalau memang tidak bisa secara konvensional ya setidaknya secara virtual (Mandaville, 2004. H. 187). Lalu apa sebenarnya komentar-komentar negatif yang mereka lontarkan secara bertubi-tubi itu, kalau ada yang membaca salinan komentar yang beredar di sosial media pasti akan dapat mendeteksi dengan mudah bahwa ada semangat korps yang kuat dalam setiap kalimatnya. Ada yang menuduh Noorhaidi liberal, buhtan/dusta, tidak ilmiah, sampah tanpa data dst. Padahal kepakaran Prof Haidi tidak ditempa dalam waktu yang singkat alias kaleng-kalengan, karya-karyanya diakui dunia internasional. Noorhaidi merupakan sarjana lulusan pendidikan terkemuka di Belanda, gelar masternya ia peroleh dari Universitas Leiden (1999). Kemudian ia lanjutkan ke jenjang doktoral di Universitas Utrecht lulus dengan predikat Summa Cum Laude (2005). Bacaan-bacaanya sangat kuat, ini terlihat dari karya disertasinya yang kemudian diterbitkan dengan judul “Laskar Jihad, Islam, Militancy, and the Quest for Identity in Post-New Order Indonesia” oleh Cornell University (New York, 2006). Selain itu, saya rasa pengalaman studinya di IAIN Sunan Kalijaga dan MAN 1 Yogyakarta memberi insight tersendiri dalam mendalami topik-topik riset yang ia minati.
By the way, berondongan komentar negatif di atas membuat saya tertarik untuk menonton kembali ceramah video pendek Prof Haidi, tampaknya footage Video pada menit ke 3:14 mengenai al-Wala wal Bara itulah yang menjadi lonceng penanda kemarahan kelompok salafi. Beliau menyatakan “Ada kesalahpahaman di kalangan anak muda muslim perkotaan dalam memahami kata Hijrah, hijrah yang mestinya bersifat spritual transedental berubah menjadi politis karena dipengaruhi oleh ajaran salafi radikal yang mengambil doktrin al-Wala wal Bara”. Menurut saya tidak ada yang salah dengan ucapan Noorhaidi tersebut. Jelas sekali yang ia tekankan adalah salafi radikal. Dan dalam konteks tertentu praktik-praktik hijrah politis tersebut bisa kita temukan jejaknya sejak dua dasawarsa terakhir Pasca Orde Baru di Indonesia. Antara lain kasus Laskar Jihad (1998), Terror Bom Gereja (2000-2004), Penangkapan terroris remaja di Solo (2012), Dan Suicide Bomb yang dilakukan oleh seorang pemuda, Rabbial, di Polrestabes Medan (2019). Mayoritas pelakunya anak-anak muda, meskipun sekali lagi perlu ditekankan bahwa basis doktrin itu sebenarnya adalah mengajarkan purifikasi Islam bukan perkara politik apalagi kekerasan.
Doktrin al-Wala wal Bara
Sebagaimana yang ditulis Noorhaidi dalam disertasinya, ajaran al-Wala wal Bara diyakini oleh kalangan salafi sebagai pilar utama gerakan dakwahnya. Pada dasarnya al-Wala berarti mencintai, loyal, mendukung dan mengikuti. Sementara al-Bara bermakna menjauhi, meninggalkan, melepaskan diri, dan memusuhi (Hasan, 2006. 198). Secara teoritis doktrin ini mengajarkan mencintai sesuatu karena Allah dan membenci sesuatu juga karena Allah. Saya kira tidak ada satu muslim pun yang menolak essensi teori itu, menjadi problem ketika pengertian tersebut direduksi secara eksklusif sesuai dengan kemauan tafsir mereka sendiri. Oleh sebab itu, tidak heran kalau kemudian di antara para Islamis salafi sendiri mereka berselisih paham dalam menginternalisasi makna al-Wala wal Bara sebut saja Ikhwanul Muslimin, Jamaat Tabligh, Hizbu Tahrir dst. Karena masing-masing mengklaim yang paling murni dan benar, khususnya kalau menyangkut hakimiyyah (Pemerintahan). Kelompok salafi wahabi menganggap tauhid hakimiyah ini sebagai tindakan bid’ah, mereka merujuk pada fatwa-fatwa ulama salafi Arab Saudi seperti Syaikh Abdul Azis Abdullah bin Baz, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan Syaikh Muhammad Sholeh al-Fauzan yang berpendapat bahwa tauhid hakimiyyah hanya akan membawa anarkisme dan menyimpang dari ajaran murni Islam.
Terakhir, saya menduga Dislike video pendek Professor Noorhaidi yang cukup tinggi itu tidak hanya berasal dari kelompok salafi, tetapi bisa juga dari gerakan tarbiyah dan ex HTI. Meminjam istilah Asef Bayat, mereka memiliki Imagined solidarity atau solidaritas yang terbayang (Bayat, 2005. H. 904). Meskipun secara harakah mereka tidak tunggal akan tetapi dalam isu-isu tertentu mereka bersatu beriringan untuk melawan.
Secara umum kelompok salafi di Indonesia dipengaruhi oleh wahabisme dan gerakan salafi kontemporer dari Timur Tengah, mereka berkeinginan kuat meneladani dan memurnikan ajaran Islam yang ideal sebagaimana dipraktekkan oleh salaf al-shalih (para pendahulu yang saleh) di masa generasi awal umat Islam. Fokus utama mereka adalah memurnikan ajaran Islam yang dianggap telah tercemar oleh praktik-praktik kebudayaan lokal. (Wahyudi, 2007; Laffan, 2003; Barton, 1996). Oleh karena itu, tidak heran kalau kemudian mereka mengasosiasikan orang-orang di luar jamaahnya dengan cara syirik dan bid’ah karena dianggap sebagai umat yang gagal menjalankan syariah Islam yang sesungguhnya. Dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka berusaha berpakaian mengikuti tradisi masa-masa nabi.
Kaum laki-laki biasanya mengekspresikannya dengan memelihara jenggot, bercelana cingkrang, dan berpakaian putih Panjang. Sementara kaum perempuannya menggunakan baju longgar tanpa bentuk dan bercadar meskipun sekarang ekspresi variannya bermacam-macam. Komitmen berprilaku dan berpakaian semacam itu merupakan salah satu bentuk kepatuhan mereka terhadap ajaran al-wala wal bara agar dapat dibedakan dengan mudah mana kelompok jamaah mereka dan mana yang bukan (Hasan, 2006. H. 201).
Penelitian Noorhaidi menunjukkan bahwa doktrin tersebut cukup efektif menyasar kelompok muslim perkotaan yang biasanya sedikit terlambat mengenal Islam. Mereka dikenalkan ajaran Islam yang rigid, hitam putih, praktis, instant, tidak rumit dan tidak membingungkan. Kemudian diperkuat pengetahuannya melalui halaqah-halaqah atau daurah terbatas oleh para murabbinya. Proses karantina itulah yang selanjutnya mendorong mereka untuk segera memisahkan diri/berhijrah, hijrah dari masa lalu yang penuh dosa, syirik, dan bid’ah menuju Muslim sejati yang murni. Dari proses ini tidak sedikit kemudian yang mengganti nama aslinya (Jawa) menjadi nama Arab, bahkan panggilan untuk teman sehari-harinya pun juga berubah. Mereka biasa mengganti percakapan sehari-harinya dengan sapaan akhi (teman laki-laki) atau ukhti (teman perempuan) untuk memanggil teman-teman jamaahnya. Menurut Noorhaidi kebiasaan itu membuat mereka merasa terlahir kembali sebagai Muslim sejati (Hasan, 2006. H. 244).
Secara historis, gelombang hijrah tersebut sebenarnya telah berjalan empat puluh tahun yang lalu sejak tahun 1980-an di mana gerakan-gerakan Islam seperti Ikhwanul Islam, Hizbut Tahrir, Jamah Tabligh mulai memasuki kampus-kampus umum. Kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) Orde Baru pada tahun 1978 turut menyumbang ekspansi gerakan transnasional Islam di kalangan kampus. Ada dua belas universitas di Indonesia yang dijadikan proyek “Bina Masjid Kampus” oleh lembaga DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) pada waktu itu, termasuk UGM. Salah satu program yang terkenal yaitu Mentoring Islam dan Studi Islam Terpadu, program ini memberi kesempatan kepada kader DDII lulusan Timur Tengah untuk memberi materi keislaman terhadap mahasiswa sekaligus memperkenalkan beberapa pemikiran para ideolog Islamis terkemuka yang biasa dijadikan rujukan para pengikut salafi. Misalnya pemikiran Taqiy al-Din Ahmad ibn Ibn Taymiyyah (1263-1328), Muhammad Ibn Qayyim al-Jauziah (1292-1350), Muhmmad ibn Abdul Wahhab (1703-1792), Jamaluddin al-Afghani (1838-1935), Muhammad ‘Abduh (1849-1905), Abul A’la al- Maududi (1903-1979), Sayyid Qutb (1906-1966). Di samping itu, mereka juga dikenalkan fatwa-fatwa ulama yang menjadi rujukan para salafi seperti Syaikh Abdul Azis Abdullah bin Baz (1912-1999), Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani (wafat 1999), Syaikh Muhammad Sholeh al-Fauzan (1933).
Aktivisme Islam yang ditanam pada tahun 1980-an di perguran tinggi umum tersebut kini telah menuai hasilnya. Satu dasawarsa terakhir ini wajah Islamisasi kampus banyak diwarnai oleh gerakan Tarbiyah, menyusul HTI, dan Salafi. Masing-masing harakah itu bukanlah ideologi tunggal. Kebanyakan mereka telah memulai aktivisme Islamnya sejak di jenjang pendidikan SMP dan SMA sebagai aktivis Rohis. Begitu masuk perguruan tinggi biasanya mereka langsung bergabung dengan salah satu ketiga channel gerakan islam tersebut (Arrobi, 2019. H.103). Melihat ghirah harakahnya yang sedemikian rupa saya yakin jaringan kadernya telah mengakar lama di LDK (Lembaga Dakwah Kampus) seluruh Indonesia. Benih hijrah yang telah ditanam pada tahun 80-90’an telah tumbuh lebih canggih dan kreatif daripada para pendahulunya.
Rasa Kemasan Baru
Berbeda dengan arus Islamisme pada tahun 80/90-an yang banyak diilhami oleh pemikiran Islam ala Ali Syariati, Sayyid Quttub, Hasan al-Banna dan Maududi. Gelombang hijrah saat ini lebih banyak didominasi oleh wacana Islam popular yang dekat dengan problematikan dan gaya anak muda muslim perkotaan misalnya Move on dari Maksiat, Haji Backpacker, Muslim Sejati, Jomblo fi sabilillah, La Tahzan for Hijabers, dst. Mereka mampu mengemas content dakwahnya sesuai dengan kebutuhan pasar, meskipun sebenarnya semangat ajarannya tetap sama yakni purifikasi Islam tapi melebur tidak terlihat. Dakwah-dakwah pop semacam itu bisa dilihat dalam ceramah-ceramahnya Ust Medsos seperti Felix Siauw, Hanan Attaki, Khalid Basalamah, dan Salim A Fillah. Rata-follower IG mereka sudah mencapai jutaaan.
Media dakwah mereka tidak hanya di tempat-tempat ibadah seperti masjid, musholla, majlis ta’lim dll. Tetapi juga di akun-akun Facebook, Youtube, dan Instagram. Youtube Khalid Basalamah Official misalnya yang sudah ditonton lebih dari 50 juta kali, berdasarkan algoritma socialblade.com akun itu telah meraup kurang lebih 5.5 – 87.6 ribu $ pertahun silahkan anda konversi sendiri. Dan yang gak kalah menarik, biasanya mereka menghadirkan Artis Hijrah atau Muallaf dalam event-event tertentu seperti Dewi Sandra, Fenita Arie, Cinta Penelope, Teuku Wisnu, Mario Irwansyah, Dimas Seto, Dll. Artis-artis itu sengaja dihadirkan dalam untuk berbagi kisah hijrahnya agar memotivasi para pendengarnya untuk meninggalkan masa lalunya yang penuh kejahiliyahan. Melihat kreatifitas dakwah generasi baru salafi tersebut membuat kelompok Islam progresif harus bisa menemukan menemukan formula barunya, kalau tidak gelombang hijrah tersebut akan terus naik dan konservatisme Islam menguat.
Senada dengan doktrin al Wala wal Bara yang ditulis oleh Muhammad bin Said al-Qathani. Bagi kelompok Islam progresif doktrin tauhid itu berpotensi mengganggu ukhuwah bassariyah, ukhuwah wathoniyah, bahkan ukhuwah Islamiyah kalau dimaknai secara eksklusif. Karena narasi yang berkembang biasanya hitam-putih hanya meyakini kelompok jamaahnya yang benar sementara kelompok lain salah harus dijauhi bahkan dimusuhi. Hal ini berlaku tidak hanya untuk non Muslim tetapi juga sesama muslim (Wallahu A’lam bis Showab).
*Artikel ini diterbitkan juga di Indonesia dengan pautan https://alif.id/read/aam/lonceng-al-wala-wal-bara-mazhab-salafi-like-and-dislike-b229219p/
Ahmad Anfasul Marom merupakan pensyarah politik Islam Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau memperoleh Degree di UIN Sunan Kalijaga dan Master dalam bidang Pengajian Islam daripada Faculty of Humanities, University Leiden pada 2009 dengan thesis “Sharia And Politics In Indonesia : The Application of Sharia Regional Regulation After The New Order”. Ahmad Anfasul juga merupakan Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia dan pernah bertugas sebagai pesuruhjaya Komisi Pemilihan Umum Yogyakarta 2013-2018.