Melampaui Ketakutan Terhadap Pandemik
Oleh : Mansurni Abadi
Pandemi covid bukan hanya ancaman bagi kesihatan, dia juga menjadi ancaman bagi psikologis kita seperti yang di ungkapkan oleh Steven Taylor dalam bukunya “Psychology of Pandemic” yang mana epidemi dari ketakutan justru lebih besar bahayanya dari epidemi virus itu sendiri. “Epidemic of fear” begitulah istilah yang dipakai oleh Steven Taylor dalam buku yang di terbitkan seminggu sebelum covid 19 merebak di Wuhan, untuk menggambarkan tingkat ketakutan yang luar biasa. Pada dasarnya munculnya “epidemic of fear ” ini bisa dari berbagai saluran interaksi sosial namun satu hal yang mesti kita ingat epidemic of fear selalu meningkat di tengah ketidaktahuan kita dan ketidaktahuan inilah sumber utama ketakutan (fear).
Rasa takut sebenarnya adalah sikap yang wajar dan ini sangat manusiawi apalagi di tengah pandemi ini rasa takut Kita semakin meningkat karena kita merasa takut kepada kematian. Hal ini bukan karena kita pengecut. Jika kita kembali membaca sejarah, peradaban manusia yang amat panjang kerap runtuh akibat penyakit. Ketakutan kita merupakan tanda kepekaan kita atas korban dan sekaligus juga respon kita terhadap ancaman nyata yang bisa merenggut dunia dan menghancurkan hasil-hasil terbaik peradaban dan kebudayaan kita namun ketakutan ini harus tetap kita kendalikan sehingga tidak memancing hal-hal buruk.
Saya perhatikan “epidemic of fear” ini menjebak masyarakat dalam trisula setan dimana yang pertama adalah reaksi berlebihan yang bisa kita lihat dari prilaku -perilaku belanja yang panik, menimbun masker dan apd, bahkan memakai apd di tempat yang tak semestinya. Dan yang lebih parah lagi arus balik ke kampung halaman akibat takut kota tak mampu bertanggung jawab untuk soal makanan semakin besar. Sementara diksriminasi bisa kita lihat dalam bentuk stigma terhadap mereka yang terkena covid 19 sehingga terjadilah penolakan mayat korban covid 19 bahkan pengusiran pekerja rumah sakit yang berjuang mengobati korban covid 19. Selain itu diskriminasi ini juga melahirkan rasisme terhadap satu kaum yang di anggap menyebabkan terjadinya virus ini, menurut Steven Taylor dalam penamaan virus kita juga harus berhati – hati untuk tidak mengkoneksikannya dengan kaum tertentu karena akan menimbulkan dampak kekerasan yang sistematis terhadap kelompok tersebut baik secara verbal maupun non verbal.
Dan terakhir adalah irasionalitas, sebagaimana yang kita ketahui selama pandemik ini banyak sekali bermunculan informasi non ilmiah terkait virus ini mulai dari obatnya, cara penularannya, cara pencegahannya, agama dan kelas mana yang lebih rentan tertular , bahkan dari mana virus ini berasal. Irrasionalitas ini sendiri timbul dan semakin menguat akibat narasi cocoklogi dan pola pikir konspirasionis di ranah publik kita yang semakin hari semakin membesar dan ini fasilitasi penyebarannya sosial media. Lalu muncul sebuah pertanyaan besar, bagaimana membebaskan masyarakat dari epidemic of fear ? Mari kita kembali ke zaman Yunani kuno dan belajar dari seorang tokoh besar pada masa itu namanya adalah Sokrates mungkin nama ini tidak asing bagi anda semua.
Alkisah pada zaman itu Sokrates disebut oleh Orakel anak dari Dewa Apollo sebagai orang yang paling bijaksana namun bijaksana disini bukanlah seperti kondisi pada saat ini dimana orang yang paling banyak tahu di anggap yang paling bijaksana bahkan saat ini bijaksananya seseorang tersebut ditentukan hanya karena dia mempunyai otoritas, banyak gelar, lulusan dari universitas terkenal, memiliki popularitas, memakai pakaian tertentu atau memiliki public speaking dengan pola tertentu. Kebijaksaan bagi Sokrates bukan karena embel-embel luar yang saya tuliskan di paragraf sebelumnya. Menurut Sokrates justru kunci dari kebijaksanaan akan nampak jika diri kita merasa tidak tahu.
Sedangkan mereka yang merasa bijaksana dengan segala embel-embelnya pada dasarnya adalah orang-orang yang tidak sadar bahwa dirinya tidak tahu. Sokrates berkata,
“Pengetahuan yang dimiliki oleh manusia hanyalah sedikit. Dan tampak para Dewa menyebut namaku untuk menjadikan aku sebagai contoh bagi umat manusia, bahwa jika di antara kalian ada orang yang paling bijaksana, itulah dia orang yang menyadari bahwa dirinya tidak bijaksana.”
Itu seperti orang yang suci, batal kesuciannya karena menyebut dirinya suci. Orang pinta, batal kepintarannya karena merasa pintar. Karena setiap orang jika semakin banyak belajar maka dia semakin tahu bahwa begitu banyak yang tidak dia ketahui. Tapi orang yang sedikit belajar, seringkali merasa sudah tahu semuanya dan merasa sudah selesai. Sokrates mengajarkan kepada kita bahwa menjadi bijaksana bukanlah menjadi serba tahu apalagi merasa tahu segalanya seperti google berjalan.
Menjadi bijaksana adalah sadar bahwa diri kita tidak tahu. Dan bukan sekedar perasaan tidak tahu, tetapi kita tahu di mana letak ketidak-tahuan kita dan menyadarinya dari sinilah muncul Dialektika Sokrates yang menjadi cikal bakal ilmu logika yang disusun oleh Aristoteles. Karena itu, ilmu logika pun seperti halnya dialektika Sokrates, ia akan mengantarkan kita kepada kesadaran akan ketidak-tahuan untuk kemudian bertindak secara kreatif, rasional dan humanis. Jika kita tidak sampai pada kesadaran akan ketidak-tahuan dan sekaligus tindakan yang kreatif, humanis dan rasional maka pertanda kita belum benar-benar menggunakan logika atau proses kita dalam mempelajari ilmu logika belumlah cukup. Lalu apa hubungannya dengan kondisi kita sekarang?
Sebagaimana kita ketahui dizaman digital saat ini manusia di terjang terlalu banyak informasi yang beredar di sekitarnya dan akhirnya banyak sekali manusia merasa dirinya lebih tahu dari ahlinya sebenernya disinilah masalah yang paling besar muncul terutama saat pandemik seperti ini.
Disitulah penting bagi kita untuk menyadari ketidaktahuan kita ditengah terjangan informasi itu dengan terus menerus membangun diskusi yang rasional sebagai awal mula meluruskan segala bentuk ketidakpahaman. Kedua, mulailah membiasakan diri kita sendiri dengan proses refleksi terhadap setiap kondisi jadikan waktu luang ditengah pandemi ini sebagai waktu untuk kita menggali potensi diri kita dengan sebaik-sebaiknya dan ketiga, fokuslah pada sumber-sumber informasi yang kredibel. Ketiga hal ini adalah langkah dasar untuk menjaga akal sehat kita ditengah “epidemics of fear”.
Sementara di ranah tindakan semestinya yang akan lahir dari proses ini adalah tindakan yang kreatif , rasional , sekaligus humanis sebagaimana yang saya jelaskan sebelumnya. Tindakan yang kreatif diranah psikologi saya contohkan salah satunya dengan membalik respon penerimaan kita terhadap kondisi pandemik dari negatif menjadi positif disini kita bisa mencontoh ajaran dari psikolog Barry Mcdonagh yang menyarankan agar kita merespon ketakutan dengan dua kata yang pertama dengan bertanya lalu kenapa? Dan kedua dengan penegasan bodo amat .
Dari respon pertama kita , pikiran kita akan mengambil waktu sejenak untuk berpikir lebih rasional dan dari respon kedua memberikan kita pengharapan tanpa henti. Ditindakan rasional secara psikologis kita bisa melakukannya dengan cara berpikir dahulu sebelum bertindak agar kita mampu untuk berpikir sebelum bertindak maka kita harus perlu melatih diri kita untuk tidak terburu – buru dan naif melalui proses refleksi baik secara spiritual seperti beribadah maupun non spiritual seperti membaca dan berdiskusi. Dan terakhir di ranah tindakan humanis secara psikologis kita harus merubah pandangan egoistik kita ke arah pandangan alturisme yang melihat orang lain sebagai bagian dari kita yang harus kita tolong jaga dan kuatkan kita bisa melatih hal ini dengan membawa diri kita ke kondisi-kondisi yang penuh dengan ketidaknyamanan sehingga akal, hati dan ucapan kita terlatih untuk penuh dengan kasih sayang .
Mansurni Abadi berasal dari Lampung, Indonesia. Mendapat pendidikan BA Psikologi di Universitas Muhammadiyah Lampung dan BA Ekonomi & Bisnes di Institute Business And Informatics Darmajaya Lampung. Kini beliau meneruskan pembelajaran Master di Institut Kajian Etnik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Beliau juga merupakan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah dan pelbagai Ngo yang lain lagi.