Kata Pengantar Buku “Inteligensia Penyuluh Nusantara”

Oleh : Dr Azhar Ibrahim Alwee

Intelektual Nusantara untuk Reformisme

Tugas intelektual itu besar dan menjadi tuntutan dan pertanggungjawaban sejarah. Mereka harus memberikan kepimpinan dalam idea dan etika, bukan pula menjadi buta, tuli dan bisu di hadapan kekuasaan yang jahat, menjerat dan muslihat. Kehadiran mereka dalam masyarakat adalah asas penting demi menjamin kewarasan dan kesejahteraan di dalamnya. Sehinggakan Rendra berpendapat kehadiran mereka “bagai minyak zaitun, mengalir menjadi bahan bakar, yang mengisi pelita-pelita yang kelap-kelip di dalam kalbu para pengagum kebenaran…Maka para pengagum kebenaran itu dengan hati-hati akan selalu menjaga agar pelita kalbunya selalu menyala dan berminyak..”[1]

Sesungguhnya sifat intelektual itu membumi bukan melangit. Sikap intelektual itu harus berdepan berani berkata, bukan melangit bermadah menyembunyikan fakta dan rasa. Sebagaimana diujarkan Gus Dur:

“Tugas pokok intelektual adalah mempertahankan kebebasan berpikir, bukannya membunuh kebebasan berpikir. Kejujuran intelektual sangat penting dan tanpa itu jangan berbicara intelektual. Intelektualisme hanya muncul dari kebebasan berpikir. Konsekuensinya, kita tidak boleh digiring-girng atau demi efektifitas harus ada keseragaman pendapat. Hargai pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang yang sendiri. Kancah intelegensia itu milik bersama umat manusia. Tidak bisa Islam menyatakan sumbangannya lebih besar dari yang lain. Tentang kecintaan, kasih sayanag, penghargaan yang tulus kepada umat manusia, apapun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama mengabdi kepada manusia. Hanya ajarannya yang berbeda. Karena itu, tidak bisa kita memenangkan diri sendiri lantas menyalahkan orang lain. Ia baru diakatakan intelektual kalau dapat mengutarakan gagasannya dalam kemanusiaan yang sama. Jika masih berpolemik dengan menyebutkan hanya Islam yang paling benar itu bukan intelektual. Concern semua pihak sama karena itu kita akan terus mencari, common quest.” [2]

Tentunya yang diujarkan Gus Dur paling mencabar untuk dicapai dan dilestarikan. Namun dalam sejarah intelektual kita, sudah tampil beberapa tokoh pemikir, yang memperlihat kesungguhan dan kemampuan untuk memperkenal idea dan gagasan yang tercerah dan progresif. Dari Indonesia nama-nama sarjana seperti H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Mohamed Natsir, Soetjatmoko, Sutan Takdir Alisjahbana, Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Kuntowijoyo, Komaruddin Hidayat dan Tenas Effendi adalah beberapa tokoh yang idea-idea progresif wajar kita iktiraf. Manakala dari Semenanjung Malaysia/Singapura, nama-nama seperti Munshi Abdullah, Syed Sheikh al-Hadi, Za’ba, Keris Mas, Usman Awang, Kassim Ahmad, Syed Hussein Alatas, Syed Naguib al-Attas, Baha Zain, Masuri S N dan selainnya sayugia diberikan perhatian. Tokoh-tokoh yang berwibawa ini tentunya lahir dan berkembang bukan dalam kekosongan. Sebaliknya dapat kita kesani latar belakang sejarah, institusi tampungan, kepimpinan semasa, kestabilan politik dan kemampuan sosio-ekonomi yang membolehkan mereka untuk tampil guna menggagas dan menyebar idea-dea berkemajuan atau reformisme. Dalam hal ini, ada baiknya kita menelusuri beberapa segi perihal reformisme, lantas mengaitkan dengan peranan intelektual kerana inilah juga yang kita harapkan dari mereka.  Antara segi-segi yang harus kita maklumi dan pertimbang adalah seperti berikut:

  1. Bahawa reformisme itu adalah upaya intelektualisme yang berusaha memadu pemikiran moden dengan tradisi Islam.
  2. Bahawa tokoh reformisme masing-masing tampil dalam berdakwah, penulisan, gerakan amal dan kepimpinan.  
  3. Pada periode mereka mengagaskan reformisme, seringkali terdapat penolakan dan bantahan terhadap idea dan pribadi mereka – dengan tudingan sebagai “Kaum Muda”, “Modernis”, malah tersasar akidah dan sebagainya.
  4. Bahawa mereka bergerak dalam pelbagai wadah, namun rata-rata bersungguh menampilkan gagasan mereka dalam bentuk penulisan, sekaligus menjadi korpus wacana keagamaan dalam masyarakat kita.
  5. Kebanyakkan mereka yang terkait dengan nasab pembaharuan yang dimulai oleh Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir, walaupun ada yang diluar dari nasab ini.
  6. Kecenderungan untuk mengaitkan ajaran Islam yang universal, betapa ia terjelma dari perut kebudayaan Arab. Mempertalikan ajaran Islam yang universal kepada konteks setempat bererti membumikan.
  7. Terdapat keterjalinan kelompok reformis betapa dari pelbagai batasan geografi dan politik  (Contohnya reformis se-Nusantara  dengan Al Imam, Al Manar, Al Munir, Thawalib School).
  8. Gagasan dan tafsiran yang dibawa seringkali berhubungan dengan keperluan semasa ; tidak pula ada visi ke depan menjangkau yang sedia ada.
  9. Umumnya gagasan pembaharuan mereka wajar namun seringkali tidak atau tidak jelas metodologi atau pendekatan yang digagaskan untuk mencapai kesimpulan dan formulasi yang reformistik.
  10. Tidak kuat berakar dalam masyarakat, atas sebab sukar diterima, malah kelompok ini lemah dalam pemupukan kadre atau pelapis  (mungkin pengecualian kepada serikat Muhammadiyah).
  11. Tidak ada pendekatan menyemai dari bawah (bottom-up), dan membangun kelompok atas (top-down); tidak dapat melembaga dan bertahan.
  12. Golongan reformis tidak takut atau tergugat dengan idea dan praktis Barat; mendakap modernitas dengan terbuka tetapi tidak sampai meninggalkan tradisi dan budayanya.
  13. Terdapat tokoh intelektual yang pada mulanya menampakkan ciri reformisme, namun pada periode terkemudian tidak berasosasi dengan gagasan ini.
  14. Gagasan reformis yang dibawa, betapa awalnya ditolak dan kecam, namun kemudian secara perlahan diterima dan diserap dalam praktis golongan tradisionalis.
  15. Golongon reformis mengiktiraf dimensi individualisme dalam Islam tetapi terkait dengan kemashalatan kolektif. Selain konsep-konsep dalam membangun negara-bangsa yang maju, seperti demokrasi, hak manusia dan keadilan sosial, ruang publik yang berautonomi dan lain-lain. 

Lain perkataan, Nusantara memerlukan gerombolan intelektual yang terus dibentuk dan terus tampil dalam memberi wadah kritis dan kreatif kepada awam Muslim. Umat Muslim Nusantara tidak dapat tidak memerlukan kelompok intelektual demi memberikan kepimpinan idea dan moral-etika. Namun perlu ingat juga, demi keberlangungsungan idea dan pemikiran yang jitu, bernas dn jelas, para intelektual ini juga memerlukan masyarakat, sebagai sumber idea, keterpanggilan moral-etika serta keberharapan bahawa sesuatu lebih baik akan membuah selagi manusia punya kekuatan tekad, keluhuran budi dan penguasaan kepada sains dan teknologi. Inilah harapan besar. Dan ini bukanlah sesuatu yang mustahil.

[1] W S Rendra, Megatruh, Jakarta: Kepel Press, 2001, h. 74.

[2] Abdurrahman Wahid, “Tanggung Jawab Moral Cendekiawan Muslim” dlm. Mengurai Hubungan Negara dan Agama. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. 1999.

*Buku ini akan diluncurkan oleh Dr Syed Husin Ali pada Ahad 1 Mac 2020 bertempat di Rumah Seni Selangor, Petaling Jaya.


Dr Azhar Ibrahim Alwee merupakan seorang intelektual dan pengkaji dunia Melayu dari National University of Singapore. Penulisan dan pengkajian beliau banyak tertumpu kepada sastera Malaysia – Indonesia, sosiologi bangsa Melayu, tradisi intelektual dan peradaban Islam. Antara karya yang dihasilkan beliau adalah Cendekiawan Melayu Penyuluh Emansipasi, Bahasa dan Tantangan Intelektualisme, Memikir-ulang Tradisi Untuk Pembaharuan dan Contemporary Islamic Discourse in the Malay-Indonesian World.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *