Manusialah Yang Memerlukan Agama Bukan Tuhan
Oleh : Dr Budhy Munawar Rachman
Review buku: Haidar Bagir, “Islam Tuhan, Islam Manusia, Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau”
Belakangan ini, kekerasan dalam kehidupan umat beragama semakin memuncak. Gelombang kekerasan ini, juga merasuk ke dalam lingkaran orang-orang Musslim, hingga berpikir dangkal, dan mudah mengkafirkan. Gesekan antar kelompok semakin mengeras, jurang perbedaan semakin lebar. Ironisnya, perbedaan bukan dimaknai sebagai media berdialog, berbagi gagasan. Yang berbeda dengan dirinya, dengan kelompoknya, dianggap salah, dianggap berdosa. Fenomena ini tampak secara kasat mata ada pada muslim di Indonesia. Fenomena agama di Indonesia kontemporer cukup rumit. Banyak hal yang harus dipahami secara cermat. Relasi Suni-Syi’ah, misalnya, yang beberapa waktu lalu mengeras sesungguhnya bukanlah berakar dari esensi, bukan pula berakar dari keindonesiaan kita. Esensi relasi keduanya adalah relasi penuh perdamaian. Kekacauan relasi keduanya di Tanah Air sesungguhnya lebih dipicu oleh faktor eksternal, yakni mengerasnya relasi Arab Saudi dan Iran.
Merespon masalah tersebut di atas, Haidar Bagir menulis sebuah buku berjudul “Islam Tuhan, Islam Manusia, Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau”. Premis dasar buku ini ada dua. Pertama, bahwa agama Islam sebetulnya begitu sampai pada manusia maka dia tidak lagi menjadi Islam Tuhan, dia menjadi Islam dalam tafsir manusia. Jadi, tidak ada yang bisa tahu Islam dibenak Tuhan seperti apa. Begitu sampai kepada manusia dia masuk filter manusia, entah tingkat intelektualitasnya, sukunya, atau tempat tinggalnya. Kedua, Tuhan tidak membutuhkan agama Islam. Agama ini diturunkan untuk memandu manusia. Agama hanya penting bagi manusia dan untuk kebahagiaan manusia.
Frasa “Islam Tuhan, Islam Manusia” mengandung arti bahwa Islam diturunkan bagi kebutuhan manusia, dan bukan kepentingan Tuhan. Manusialah yang membutuhkan agama, dan bukan Tuhan. Sebagai orang beriman, kita yakin bahwa agama berasal dari Tuhan. Tapi, agama juga mengambil bentuk sebagai agama manusia, segera setelah ia berpindah dari khazanah ketuhanan kepada wilayah kemanusiaan. Artinya, manusia tidak pernah bisa bicara tentang agama, kecuali dalam konteks manusia. Menyadari hal itu, maka seorang penganut agama mestinya tidak terkejut dan gagap untuk menerima kenyataan bahwa di kalangan agama yang sama terdapat begitu banyak perbedaan pendapat. Selain itu, agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia. Artinya, adalah suatu kesalahan jika kita mengembangkan pemahaman atas agama yang dilepaskan dari kebutuhan manusia. Karena itu, sudah sewajarnya agama ditafsirkan sejalan dengan kepentingan perkembangan manusia dari zaman ke zaman. Tanpa itu semua, agama akan kehilangan relevansinya dan tak lagi memiliki dampak bagi kehidupan umat manusia.
Dalam buku ini, Haidar mengungkapkan, Islam merupakan ajaran tuhan yang dititipkan kepada manusia untuk membimbing manusia, bukan untuk meninggikan Tuhan itu sendiri. Namun ketika Islam ini sampai kepada tangan manusia, maka Islam ini berubah menjadi Islam manusia, karena ketika Islam ini sampai kepada tangan manusia maka Islam tuhan ini berubah menjadi Islam tafsir. Islam yang manusia pahami, adalah tafsir atas ajaran Allah yang telah diturunkan ke bumi. Oleh sebab itu, Haidar menegaskan manusia tidak boleh merasa pendapatnya paling benar, lalu menyalahkan pendapat yang lain. Haidar mengingatkan bahwa kalau kita mau lebih tahu Islam dibenaknya Tuhan, maka kita mesti belajar Islamnya orang lain, sehingga kalau tadinya kita hanya melihat Islam Tuhan dalam satu aspek kecil, maka dengan belajar Islamnya orang lain menjadikan kita lebih lengkap mengetahui Islam itu seperti apa. Daripada kita mengkafir-kafirkan orang, lebih baik kita belajar dari perspektif orang lain sehingga pengetahuan kita tentang Islam sebagaimana yang diinginkan Tuhan semakin lengkap.
Manusia tak bisa diperbandingkan dengan Tuhan. Selalu ada kesenjangan pengetahuan antara Tuhan dengan manusia tentang kebenaran dan Islam. Ketika sampai kepada manusia, kebenaran Islam menjadi tafsir. Kita tak mungkin sepenuhnya mengetahui Tuhan yang menciptakan kita. Tafsir selalu memiliki dua kemungkinan. Ia bisa mengandung kesalahan atau mengungkap kebenaran parsial. Dengan demikian, seseorang seharusnya bersikap rendah hati dan tidak memutlakkan tafsirnya. Seseorang semestinya juga bersikap terbuka kepada pendapat lain yang sama-sama punya potensi kebenaran parsial, sehingga kebenaran bisa dia capai lebih utuh. Haidar mengatakan, “Ajaran Tuhan itu seperti cermin yang jatuh dari langit kemudian pecah berserakan. Setiap manusia mengambil pecahan-pecahan kecil itu”. Untuk mengetahui Islam yang dikehendaki tuhan, manusia harus bersabar dan telaten mengumpulkan serpihan-serpihan tersebut.
Menjadi manusia, menurut Haidar, adalah memaksimalkan segenap potensi kemanusiaan yang dianugerahi Tuhan. Potensi itu menjadi kekuatan akal (alam rasional), daya imajinasi (alam imajinal), dan energi spiritual (alam ruhani). Buku ini merupakan ekspresi dari concern Haidar terhadap kehidupan keberagamaan yang menurutnya makin lama makin kacau. Jadi kalau di dalam bahasa Islamnya, zaman kita adalah zaman fitnah, dan fitnah itu artinya chaos. Melalui buku ini, Haidar Bagir, menghadirkan renungan jernih untuk memahami kondisi di zaman yang kacau. Buku ini merupakan rangkaian gagasan-renungan Haidar, selama satu dekade terakhir. Dari lembaran renungan ini, tampak bagaimana kejelian Haidar menelisik ke jantung permasalahan orang-orang Islam di Indonesia: tentang pemahaman keagamaan sekaligus tafsirnya, sebagai upaya menjernihkan konteks dan pencarian atas nilai-nilai moral sebagai tuntunan bersikap. Haidar mengkritisi maraknya kampanye pengkafiran, yang disertai egoisme serta kepentingan politik.
Menurut Haidar, non-muslim tidak identik dengan kafir. Hal ini, jika melacak akar kata dari kafir, yakni ka-fa-ra yang artinya menutupi. Kekafiran, dapat dimaknai sebagai pengingkaran dan penolakan atas kebenaran yang sesungguhnya memang telah dipahami, diterima dan diyakini oleh seseorang sebagai sebuah kebenaran. Dengan demikian, orang kafir berarti orang yang, dengan berbagai alasan, menyangkal atau bersikap tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakini. Maka, non-muslim yang tidak percaya akan kebenaran Islam, karena tidak tahu atau tidak yakin, bukanlah kafir.
Haidar menunjukkan bahwa ada kesalahan besar dalam memandang Islam sebagai agama hukum dan agama politik. Menurutnya, Islam itu as much a love oriented religion. Kesalahan dalam memandang Tuhan sebagai satu wujud yang lebih bersifat menghukum dan berorientasi kekuasaan, ini yang membentuk para pengikutnya untuk berorientasi pada hukum dan kekuasaan. Dalam buku ini, Haidar membuktikan bahwa Islam itu agama berorientasi cinta dan selama orang tidak bisa mengubah orientasi keberagamaan dari yang bersifat hukum dan politik menjadi berorientasi cinta, maka akan seperti inilah sikap banyak orang muslim. Haidar mengkampanyekan betapa Islam sebenarnya merupakan agama cinta, agama perdamaian. Menurutnya, hanya dengan ihsan yang berbasis cinta, seperti inilah ibadat dapat benar-benar menjadi sumber spiritualitas yang memancurkan berkah melimpah bagi sesama, sementara keulamaan jadi sumber barometer moralitas luhur dan reformasi keulamaan.
Masalah lain yang dibahas Haidar dalam buku ini adalah negeri kita sudah lama kosong strategi budaya atau bergerak ke arah ketunabudayaan padahal budaya adalah soal menjadi manusia. Manusia spiritual, manusia estetis, manusia sadar dan berpikir. Nah, masalah selanjutnya yang sangat menarik adalah tentang “zaman kacau” yang mana zaman kacau ini karena kedahsyatan media dalam membentuk cara pandang hidup masyarakat hingga menjadi zaman kacau. Problem berikutnya adalah takfirisme, fenomena Khawarij menandai terbentuknya takfirisme (takfiriyyah) dalam Islam yaitu perumusan suatu doktrin pengafiran yang mereka percayai berdasarkan pada ajaran Al-Quran. Doktrin Khawarij ini berbahaya dalam beragama karena sikapnya yang berlebih-lebihan dalam memahami agama sehingga orang cenderung melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi agama seperti melakukan radikalisme dan terorisme.
Buku ini dibagi menjadi lima bagian pembahasan. Pertama, menguraikan permasalahan umat manusia dan umat Islam di zaman kacau. Radikalisme salah satunya. Kedua, membicarakan tentang khazanah Islam, akal dan rasa sebagai sumber pemikiran. Ketiga, dialog intra Islam. Keempat, membahas dialog antara Islam, budaya, dan peradaban. Terakhir, menjelaskan tentang Islam, Cinta dan Spiritualitas. Buku ini memuat pemikiran Haidar dalam bentuk esai. Esai-esai yang berserakan di media massa dikumpulkan, dikategorikan berdasarkan tema, lalu disusun menjadi buku. Lantaran dikemas baik, buku ini seperti autobiografi intelektual atau perjalanan pemikiran seorang tokoh muslim dalam bentuk esai yang merangkum permasalahan di dunia Islam sekaligus memberikan solusi atas masalah, salah satunya adalah dengan spiritualitas.
Haidar ingin menegaskan bahwa segala hal yang ia bahas dalam buku ini adalah semata Islam yang ditafsirkan oleh manusia, bukan Islam Tuhan. Sebab, ajaran Islam di dunia (bumi) memang hanya hasil tafsiran manusia sehingga kebenarannya bersifat relatif, tidak mutlak. Ajaran Islam memang diturunkan Allah Swt lewat Alquran, tapi ketika ditafsirkan manusia, Islam berubah menjadi Agama Manusia, bukan Agama Tuhan lagi. Bahwa keragaman yang nampak pada pemahaman ummat ini bukan hanya wajib diapresiasi tapi sejatinya adalah wujud tajalli Nya. Bukan hanya terjadi keragaman antar pemeluk agama, keragaman juga terjadi di dalam penganut agama tertentu (intra agama), bahkan intra mazhab. Bahwa perbedaan itu adalah rahmat/berkah bagi manusia. Bahwa Islam yang mutlak kebenarannya adalah Islam yang diturunkan (diwahyukan/revealed) Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat Jibril a.s. (Islam Tuhan). Sedang yang lainnya bersifat relatif (Islam Manusia). Dan manusia berjenjang juga derajat kesempurnaannya. Makin tinggi derajat kesempurnan Manusia semakin tinggi pemahamannya atas Islam Tuhan makin rendah kadar Islam manusianya, begitu sebaliknya makin rendah derajat kesempurnaan manusia makin tinggi kadar Islam manusianya.
Islam adalah agama universal yang tidak membedakan suku, warna kulit, jabatan atau aksesories manusia lainnya karena semata-mata manusia dinilai dari sisi ketakwaannya. Di ujung buku, Haidar memberikan counter terhadap kecenderungan orang mencari ketentraman, tetapi dalam pemahaman agama yang dangkal. Ia memberikan alternatif dengan kembali kepada spiritualisme. Spiritualisme itu sama-sama memberikan ketentraman, tetapi berbeda jauh. Kalau pendekatan hukum dan politik itu eksklusif, pendekatan spiritualisme itu inklusif. Kalau hukum dan politik itu kebencian, maka spiritualisme itu cinta. Kalau hukum dan politik itu pendekatannya violence, spiritualisme itu pendekatannya damai.
Menurut Haidar, spiritualisme adalah esensi agama. Sebab spiritualisme bisa menangkal ideologi takfiri dengan segala eksesnya yang berupa terorisme dan radikalisme. Spiritualisme menawarkan tiga hal, yakni cinta, damai, dan kerja sama. Jika ingin menghentikan kekacauan, maka kembalilah pada agama. Tetapi, jangan pilih bagian kulitnya. Pilihlah spiritualnya. Semua agama beresensikan spiritualitas yang sama, yakni cinta, damai, dan kerja sama. Melalui buku ini, Haidar mengajak untuk menggali kembali kepada khazanah spiritualisme Islam. Dengan mengembalikan cinta dan spiritualitas dalam ajaran Islam akan menyadarkan kita bagaimana membangun hubungan dengan sesama manusia, karena inti dari agama adalah akhlak (budi pekerti).
Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, menuturkan dalam buku ini bahwa Haidar telah berusaha menyuarakan gagasan-gagasan yang reflektif, segar dan dengan tujuan agar tumbuh kultur lapang dada dalam bertoleransi dan menyikapi perbedaan pendapat yang berbeda pandangan, termasuk juga mudah mengkafirkan seseorang dalam lingkungan agama yang sama. Bagi Haidar, Islam yang damai adalah jalan keluar bagi segala permasalahan dalam dunia Islam seperti takfirisme, radikalisme, permainan ekonomi-politik, dan lain sebagainya. Sudah saatnya kita mengakhiri ketegangan antar golongan intra Islam. Imam Syafi’i pernah berkata: “Pendapatku benar, namun sangat potensial keliru; sementara pendapat orang selainku itu keliru, namun sangat mungkin benar”. Semua Islam Manusia adalah relatif. Islam diturunkan untuk kebahagiaan manusia, bukan untuk saling mengklaim kebenaran sendiri.
Dr Budhy merupakan ahli akademik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta di samping keterlibatan beliau bersama The Asia Foundation dan Lembaga Studi Agama Dan Filsafat Indonesia. Beliau memiliki lebih daripada 50 buah karya yang unggul seperti Reorientasi Pembaruan Islam dan Ensiklopedi Nurcholish Madjid . Dr Budhy lebih dikenali sebagai tokoh yang terkehadapan dalam isu-isu seperti dialog antara agama, keharmonian dalam masyarakat dan kebebasan.