Rekonstruksi Ilmu Sosial Asia

Oleh : Yasser Arafat


Imu sosial Barat menjadi rujukan, baik dalam level konsep, teori, metodologi, penggunaan buku daras, pustaka maupun bantuan dana riset dan pengajaran. Padahal, ilmu sosial Barat sendiri memiliki sejumlah cacat bawaan bahwa yang sulit dimaklumi hingga kini.

Pertama, ia merupakan konstruksi pengetahuan sarat penghakiman bahawa Asia dan peradaban non-Barat lainnya adalah dalil keterbelakangan umat dalaman manusia. Penerapan ilmu berbasis anggapan subjektif ini terbukti telah menenggelamkan tradisi keagamaan, filsafat, dan sastra Asia. Misalnya Serat Centhini, sebuah karya ensiklopedis monumental tentang pengetahuan dan kebudayaan Jawa, sejauh ini hanya terbaca sebagai objek telaah ilmiah, bukan sebagai subjek yang membicarakan, menginisiasi dan membiakkan pengetahuan ulayat (indigenous knowledge) salah satu bangsa di Asia. Kedua, beberapa konsep kunci dalam ilmu sosial Barat sungguh tak memadai untuk diterapkan di Asia. Misalnya konsep ‘religion’ yang sering sebagian dipakai oleh para antropolog dan sosiolog untuk melihat ‘agama’.

Di Barat ‘religion’ berepistemologi pada dikotomisasi antara dimensi yang sakral dan yang profan dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, di Asia dan di dunia Barat lainnya, ‘religion’ tak serta-merta bisa disepadankan dengan agama. Sebab, episteme yang melingkungi kedua konsep itu jauh berbeda. Apalagi agama seperti Hindu, Buddha, dan agama lokal di Asia tak pernah mengenal dikotomi dimensional seperti di Barat. Ketiga, ada darah kolonialisme yang mengaliri basis produksi dan tata operasional ilmu sosial Barat. Daniel Perret, seorang antropolog Perancis, secara tajam mengulas hal ini dalam Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010). Ia menyebutkan bahawa ilmu sejarah, antropologi, sosiolog dan geografi lazim dipakai oleh kaum kolonial Belanda untuk menemukan (inventing) Batak sehingga definisi orang Batak sebagai suku pedalaman, kanibal, kasar, pemakan babi dan tak beradab (uncivilized) terasa sangat menyesatkan hingga kini.

Dengan kata lain, saat ini Asia menghajati kelahiran ilmu sosial yang otonom, decolonized dan berpijak pada lokalitasnya. Itulah yang disebut oleh Syed Farid Alatas dalam buku kumpulan esainya yang pernah terserak di berbagai jurnal ilmiah ini sebagai ulayatisasi ilmu sosial Asia. Namun bukan bererti ilmu sosial Barat harus dibuang begitu saja. Ilmu sosial Barat tetap harus diambil secara serius. Namun, pertimbangan dan asimilasi kritis terhadap konsep, teori dan watak kolonialnya wajib diimbuhkan di sana (hal xix). Di sini Alatas tampak sedang berikhtiar untuk berdiri di antara cakrawala Timur dan Barat.

Kiranya semua pihak bersepakat bahwa cacat bawaan ilmu sosial eurosentris di atas telah menyulut kegalatan analisis atas berbagai fenomena sosial yang terjadi di Asia. Memang pada mulanya ilmu sosial Asia merupakan buah pengetahuan dari peradaban Barat. Namun, perbaikan mobil rusak tentu tak mungkin dikerjakan dengan berpandukan runas yang tertera di buku petunjuk sepeda motor. Inilah perkara historis yang alpa disoal oleh sebagian besar ilmuwan sosial di Asia, khususnya di Indonesia.

Agaknya ia sengaja menempuh langkah kritis-kompromis itu demi ambisinya untuk mempromosikan filsafat, epistemologi dan kekayaan ilmiah peradaban Asia sebagai basis pengetahuan universal (hal 215). Dengan begitu ia dapat secara lebih langgas mengamankan laju lari ijtihad ilmiahnya, baik dari sangkaan negatif Barat maupun dari hantaman sikap anti-pengetahuan Barat yang diperjuangkan oleh para pendukung gerakan nativisasi ilmu sosial (hal 112).


Untuk itu, Alatas merekomendasikan dua strategi penting untuk meyukseskan projek rekonstruksi ilmu sosial Asianya. Pertamanya, penggalakan studi refleksif atas teori sosial serta pendalaman kajian tentang struktur dasarnya. Langkah ini mencakup pelacakan jejak teori berikut : logika, metodologi, biografi pencipta hingga relasi kuasa yang menyunsum di dalamnya (hal 199). Kedua, revolusi ajaran ilmu sosial. Perkuliahan ilmu sosial harus ditujukan untuk membekali para ‘santri ilmu sosial’ dengan pemahaman tentang perjumpaan peradaban, kritik atas modernitas dan pengetengahan keanekaragaman perspektif (hal 2014).

Hanya saja sebagian besar wacana ilmiah yang diperkalamkan Alatas di sini cuma soal aura kolonial ilmu sosial Barat serta irelevensinya di Asia. Hal ini menyebabkan teriakannya hanya bertalun di seputar dimensi etik aksiologis ilmu sosial yang seharusnya dikembangkan di Asia, bukan dimensi paradigmatik-epistemologisnya. Pada hal epistemologi adalah syarat sah tegaknya bangunan sebuah ilmu pengetahuan. Seharusnya sisi inilah yang tak boleh dialpakannya. Apalagi jika ia memang benar-benar ingin agar Asia memiliki ilmu sosial ulayat yang otonom dan membebaskan.

Karena itu, wajar jika terma ‘ulayatisasi ilmu sosial (indigenization of social sciences)’ yang dipakainya terasa cukup janggal. Uraian tentang pembangunan dan pengembangan ilmu sosial ulayat sebagaimana dijerangnya di sini lebih pas dilafalkan dengan terma ‘mengilmu (sosialkan) ulayat, bukan ulayatisasi ilmu sosial yang lebih bermakna tindakan menjadikan ilmu sosial sebagai barang ulayat.

*Penulisan ini diterbitkan oleh akhbar Kompas pada 26 Februari 2012.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *