Raja Ali Haji : Pahlawan Nasional Lewat Kalam


Oleh : Dr Alimuddin Hassan Palawa

“Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam adapun pekerjaan kalam itu tiada oleh dibuat dengan pedang dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung.”

(Raja Ali Haji, “Bustan al-Kātibīn”)

Perjuangan yang diupayakan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang khususnya dan Masyarakat (Kepulauan) Riau umumnya untuk mengusulkan pengangkatan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah membuahkan hasil setelah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Kini Raja Ali Haji telah mengikuti jejek kakeknya, Raja Haji dan dua tokoh pejuang Melayu lainnya, Tuanku Tambusai dan Sultan Syarif Qasim II yang sebelumnya telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dari Negeri Lancang Kuning, Bumi Melayu-Riau.

Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga pahlawan nasional sebelumnya, pengangkatan Raja Ali Haji memiliki makna yang berbeda, yaitu diangkat lewat “kalam” bukan karena “pedang”. Jasa Raja Ali Haji kepada bangsanya adalah lewat kalamnya, sebagaimana ia gaungkan dalam Gurindam Duabelas-nya, “Hendaklah berjasa kepada sebangsa”. Begitu pula pemerintah yang mengusulkan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah “menyicil” untuk menjadi bahwa “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Begitu pula, pemerintah berupaya untuk mengamalkan himbauan Raja Ali Haji, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi bahasa”.

Makanya, ketika membaca tantang pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional oleh pemerintah kota Tanjung Pinang kepada pemerintah pusat (29 Maret 2004), saya bergumam: “gagasan cerdas sekaligus unik dan menarik”. Disebut cerdas karena gagasan ini menggeser, untuk tidak mengatakan “menyalahi”, defenisi konvesional term pahlawan. Selama ini, term pahlawan didefinisikan sebagai sosok-figur yang gagah berani dan/atau berjasa dalam membela dan membertahankan negara dari serangan musuh/penjajah (dari luar). Artinya, defenisi semacam ini stressing pointnya lebih pada perjuangan fisik (jihad) serta berorientasi pada “kekuatan pedang”. Sebaliknya, gagasan pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional lewat kalam membuat definisi pahlawan bergesar, dan lebih menitikberatkan pada perjuangan secara non-fisik (ijtihad) serta berorientasi pada “kekuatan kalam”.

Kelanjutan dari di atas, disebut “sekaligus unik” karena, sepanjang pengetahuan penulis, selama ini penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada seseorang melulu dengan pertimbangan jasa besarnya dalam “kekuatan pedang.” Sebaliknya, lagi-lagi, sejauh yang penulis ketahui, penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada seseorang dengan pertimbangan jasa agungnya dalam “kekuatan kalam” tidak/belum pernah ada. Dan tambah pula, keunikan itu jatuh pada anak jati diri figur intelektual Melayu-Riau, Raja Ali Haji.

Disebut “menarik” karena dewasa ini definisi konvensional term pahlawan dengan “kekuatan pedang” semakin menyempit ruangnya karena musuh yang akan dihadapi oleh negara/bangsa bukan lagi serangan musuh dari luar secara fisik. Maka kalau definisi ini dipertahankan dalam konteks kekinian dan kedisinian, niscaya lambat-laun akan kehilangan relevansi dan salah-salah bisa out to date.

Sebaliknya, definisi alternatif term pahlawan dengan “kekuatan kalam” untuk kurun waktu mendatang akan semakin meluas ruangnya karena musuh yang akan dihadapi adalah panetrasi budaya dari luar yang sangat mungkin bertentangan budaya luhur Melayu kita. Maka definisi term pahlawan semacam ini di masa-masa mendatang niscaya akan semakin relevan dan up to date. Artinya, dalam mengadapai musuh yang disebut belakangan ini tidak bisa dilawan dengan “kekuatan pedang”, tetapi harus dihadapi dengan “kekuatan kalam”.

Lewat dengan “kekuatan kalam” itulah Raja Ali Haji memainkan peran yang sangat signifikan semasa hidupnya. Keterlibatannya dalam masyarakat di kerajaan Melayu-Riau memang terlihat sangat intens, misalnya terlihat dari pesannya yang arif untuk senantiasa mencermati dan menyesiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat di kerajaan Melayu Riau pada abad ke-19. Makanya, Raja Ali Haji selalu memposisikan dirinya dengan berperan sebagai “moral guardian” dan “the spiritual patronge of Malay World”, yaitu sebagai penjaga dan melindung moralitas-spritual komunitas bangsanya, Melayu-Riau.

Kemudian, menurut Raja Ali Haji, ancaman tersebut berasal dari dua penjuru: pertama, dari dalam, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu yang dapat menimbulkan perang saudara antara mereka. Kedua, ancaman dari luar, berasal dari agresi Belanda dan budaya Barat yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat-budaya Melayu. (Tradisi Johor-Riau, 1987: xvi-xvii). Dari point kedua ini Raja Ali Haji kembali menekankan ancaman dari luar berupa panetrasi budaya Barat untuk konteks dewasanya ini yang perlu mendapat perhatian.

Untuk point pesan internalnya, Raja Ali Haji semasa hidupnya acap kali memperingatkan agar masyarakat Melayu dapat mengekang hawa nafsu. Dan sayugyanya merenungkan akibat yang ditimbulkan dari perselisihan di antara mereka itu. Karenanya, ia tidak bosan-bosannya untuk menganjurkan agar masyarakat selalu memperhatikan rasa malu (rendah hati), memuliakan ilmu (pengetahuan), dan mengutamakan akal (nalar). Karena tanpa memiliki sifat dan sikap seperti itu, menurutnya, adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri (lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa).

Begitu pula, untuk point pesan eksternalnya, Raja Ali Haji semasa hidupnya sudah merasakan bahwa masuknya kebudayaan Barat dan nilai-nilai yang tidak Islami, jelas menimbulkan tantangan bagi masyarakat Melayu. Peran untuk mengelaminir dan melakukan filterisasi inilah yang selalu diwanti-wantikannya. Ia meyakini betul bahwa perubahan terhadap adat-budaya tradisional akan berakibat kerusakan pada masyarakat serta mempercepat pengikisan niali-nilai lama yang luhur. Pengikisan nilai-nilai luhur itu telah mulai tampak dalam pengamatan Raja Ali Haji, misalnya masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Melayu Riau melalui Singapura turut mempercepat proses pengikisan nilai luhur tersebut, termasuk di bidang bahasa.

Raja Ali Haji menyakani bahwa perhatian sungguh-sungguh terhadap tata bahasa adalah penting guna memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Karenanya, Raja Ali Haji, sebagai seorang ahli bahasa dan budaya, mengambil peran sebagai pembina bahasa dan pemelihara budaya. Dalam memelihara budaya, terlebih dahulu yang dibenahi adalah infrastruktur kebudayaan itu sendiri. Maka, ia mendahulukan perbaikan bahasa Melayu dengan menulis buku tata bahasa, Bustanul al-Katibin (ditulis tahun 1857) dan digunakan dengan sukses pada sekolah-sekolah di Johor dan Singapura.

Raja Ali Haji memperlihatkan gagasannya mengenai makna penting bahasa dalam tradisi Islam. Dan pada waktu yang bersamaan ia mengungkapkan pemikirannya tentang hubungan yang jalin-berkelindan antara bahasa dan moralitas (Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner”, 418); bahasa dan pesan ilmu agama, seperti ia maktupkan dalam “Muqaddimah” Bustān al-Kātibīn : “Adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian barulah kepada kelakuan… apabila berkehendak kepada menuntut ilmu dan berkata-kata yang beradab dan sopan, tidak dapat tidak mengetahuilah dahulu ilmu yang dua iaitu ilmu wa l-kalam…”. Kalimat Raja Ali Haji ini berlanjut dengan kalimat yang dikutip di awal tulisan ini.

Dua tahun menjelang, figur pemikir Melayu ini, melengkapinya dengan menulis kamus bahasa Melayu, “Kitab Pengetahuan Bahasa” –disebut-sebut kamus eka-bahasa di Alam Melayu–dimaksudkan guna membimbing mereka yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa, agama dan prilaku yang benar. (U.U. Hamidi, 1988: 63). Dekan kata lain, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu, sebab ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nilai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya. (Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya. Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat, sehingga tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan. (Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Dengan kedua karyanya dalam bidang bahasa dan budaya ini, “Bustān al-Kātibīn” dan “Kitab Pengetahuan Bahasa” pada “Festival Istiqlal” di depan Simposium, “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok”, Abdul Hadi W.M. menyebut Raja Ali Haji adalah Bapak Tata Bahasa Melayu Modern. Malah tidak salah/tidak berlebihan kalau melihat perjuangan dalam membina bahasa ia digelari “Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia”, sebagaimana tertera dalam judul buku yang mengiringi penganugerahan Pahlawan Nasional kepadanya.

Lewat kedua karya ini, memberikan petunjuk bagaimana sikap Raja Ali Haji dalam menghargai bahasa dan budaya. Karena menurutnya, “jika hendak mengenal orang berbangsa; lihat kepada budi dan bahasa.” Sekaligus ini merupakan bukti keinginannya untuk membantu masyarakat yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi-budaya Melayu. Karenannya, Hasan Junus menjadi benar ketika menjuluki Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, sebagimana tertera dalam judul buku monumentalnya.

Upaya Raja Ali Haji dan “lingkarannya”, meminjam istilah Al Azhar, serta generasi-generasi berikutnya dalam memelihara dan membina bahasa Melayu Riau telah melapangkan jalan terbentuknya bahasa nasional, bahasa Indonesia. Menurut U.U. Hamidi, upaya Raja Ali Haji dalam membina dan memelihara bahasa Melayu Riau ini, “bagaikan mengapak dan menarah, sehingga akhirnya mempunyai bentuk dan dasar yang baik. Dalam konteks ini penarik dan penting untuk mengutip pernyataan Muhammad Hatta:

Pada permualaan abad 20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.” (Kutipan ini semula terambil dari Mohammad Hatta, “Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia, dalam Pelangi (Kenangan 70 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Akademi Jakarta TIM, 1979; Lihat, Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia (Pekanbaru: UNRI Press, 2004: 71).

Upaya mengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di daerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang, menurut Nurcholish Madjid, puncaknya terwujud di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya.

Kemudian, setelah bahasa Melayu itu menjadi bahasa kebangsaaan (bahasa Indonesia) maka upaya membinaan bahasa itu hanyalah bagaikan “mengetam.” Dengan begitu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tanpa upaya “pengapak” (membentuk) oleh Raja Ali Haji dan “lingkarannya” itu, maka “Sumpah Pemuda” boleh jadi tidak/belum diikrarkan tahun 1928. Atau setidak-tidaknya, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa kebangsaan, lantaran genarasi bangsa saat ini baru pada tahap “mengapak”, dan belum sampai pada tahap “mengetam”.

Maka kalau melihat perjuangan Raja Ali Haji dalam membina bahasa dan/ atau membela budaya Melayu pada khususnya, dan membela kebenaran pada umumnya lewat “kekuatan kalam”, sangatlah tepat kalau anugerah gelar Pahlawan Nasional disandangnya. Dan sekurang-kurangnya, dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini, bangsa ini telah membayar kesalahannya, tidak lagi –meminjam ungkapan U.U. Hamidi– “hilang jasa kapak oleh jasa ketam”.

Dengan melihat peran Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Alam Melayu ini, tetapi sangat tepat dan jitu untuk menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:

“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ke tempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa ke arah kerusakan dan keruntuhan.” (Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).

Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalam tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun, dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya menuju jalan yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji, yang tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mondial sampai di masa sekarang, mungkin di masa mendatang. Tegasnya, ungkapan jitu dari Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”, 283).

Akhirnya, dalam melihat aktifitas intelaktualnya, agaknya, Raja Ali Haji setuju dengan pendapat imam al-Ghazali bahwa “kalam lebih berkuasa dari pada seribu pedang”. Dengan redaksi yang kreatif dan elaboratif, di dalam Muqaddimah “Bustan al-Katibun”, Raja Ali Haji bertutur dengan indahnya, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Tepatlah, oleh karenya, kalau Raja Ali Haji kita juluki “Pahlawan Nasional Sebagai Bapak Bahasa Indonesia Lewat Kalam”.


Dr Alimuddin Hassan Palawa mendapat pendidikan awal dalam jurusan Aqidah-Filsafat, Fakultas Usuluddin IAIN (Sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (1987-1993). Seterusnya menyambung Master di IAIN SUSQA Pekanbaru dalam jurusan Pemikiran Moden Islam dan menyiapkan PHD beliau berkaitan pemikiran politik Raja Ali Haji di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini berkhidmat sebagai tenaga pengajar pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau sejak tahun 1995. Karya ilmiah yang beliau hasilkan diantaranya: “Pemikiran Politik Raja Ali Haji”, Jurnal Al-Jauhar Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, 2001; “Diskursus Keilmuan: Transmisi Hellenisme ke Dunia Islam”, Jurnal Al-Jauhar  2002; “Islam Rasional-Liberal: Kajian Pemikiran Syed Amer Ali”, Jurnal Refleksi Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, 2002; “The Penyengat School: A Review of The Intellectual Tradition in the Malay-Riau Kingdom”, Studia Islamika, Vol. 10 Number 3, 2003; “Meneroka Sejarah Persuratan Intelektual Melayu-Riau”, Jurnal Al- Fikra Pascasarjana UIN Riau, Vol.3 No. 2 Juli-Desember 2004; “‘Kecerdasan Hilmiyah’ dan Jahiliyah”, Riau Pos, 12 Meret 2004’ “Islam dan Tradisi Intelektual Melayu”, Riau Pos, 26 Maret  2004; “Pahlawan Melayu Lewat Kalam”, Riau Pos, Kamis, 20 Mei 2004; “Pemikiran Politik Islam Klasik”, dalam Jurnal “Al-  Fikra” Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2006 ; “Pembebasan Budak dalm Islam (Upaya Mewujudkan Kesetaraan Gender)”, Jurnal Marwah PSW UIN Suska Riau, Vol. V, No.1 – Juni 2007; “Historiografi Melayu: Kajian Atas Tuhfat al-Nafis Karya Raja Ali Haji” dalam Jurnal Al-Fikra, Vol. 8, No. 1, Januari-Juni 2009; dan “Raja Ali Haji: Pelindung Budaya dan Pemelihara Bahasa Melayu”, Vol. 10, No. 1, Januari-Juni 2011.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *