Melawan Corona Virus Dengan Tamadun Ekologi Sosial

Oleh : Mansurni Abadi

Rasa-rasanya sekarang ini susah bagi kita untuk tak bisa lepas dari apa pun hal tentang Covid-19, karena setiap media selalu memberitakan kondisi dunia yang terjejas akibat Corona sebagai penyebabnya. Masalah pandemi ini tak lagi menjadi masalah kesihatan sahaja tetapi juga telah menjadi masalah sosial, telah kita ketahui dan kenal pasti tingkat rasisme juga meningkat di tengah pandemi seperti macam di Barat yang menargetkan orang China dan Asia Timur lainya, sementara di Malaysia sekarang ini juga terjadi rasisme terhadap para imigran Rohingya. Kemudian dari banyaknya perbincangan Covid-19 ini, bermunculanlah banyak sekali  hujah di masyarakat awam, yang salah satunya hujahnya mengatakan jika Covid ini adalah punca dari krisis ekologi. 

Berbeda dari hujah yang lain, jika kita tengok dari sudut pandang hujah ekologi ini pandangannya lebih menekankan pada hubungan antara manusia dan ekologi yang ternyata tidak harmonis dan ada unsur dominisi yang tak sihat. Sebetulnya hujah ekologi ada benarnya jika kita tengok realiti semasa, ketidakharmonisan dan ketidakseimbangan ini nyata adanya. Apalagi awal mula pandemi, yang banyak di katakan  bermula di sebuah pasar makanan laut di kota Wuhan, China yang kemudian terdapat dokumentarinya tentang pasar itu yang tular di dunia maya yang mempertontonkan haiwan-haiwan yang di taruh di kondisi yang tak layak dan di siksa dengan sangat biadab sebelum dijadikan santapan, pada akhirnya membenarkan jika hubungan yang tak sihat antara manusia, alam dan dominasi yang teruk didalamnya adalah benar dan anggapan jika korona virus ini akibat kerakusan segolongan manusia yang memakan apa pun tanpa terhad juga menjadi akhirnya  benar. Dalam setiap sejarah pandemi tak hanya Covid-19 ini sahaja, telah pun ilmuwan kenal pasti jika semua pandemi adalah punca dari krisis ekologi. 

Menurut pengkajian Nature Research Journal, kira-kira dua pertiga daripada semua penyakit berjangkit pada manusia telah dikenal pasti  berasal daripada haiwan. Para saintis mengatakan kemampuan virus untuk bermutasi dan menyesuaikan diri dari haiwan ke sistem imun manusia sebetulnya sangat jarang terjadi, tetapi pengembangan keganasan manusia mengeksplotasi alam semulajadi menjadikan kejadian langka itu lebih mungkin terjadi .

Menurut hujah dari Peter Dashak seorang zoologis yang  mengasaskan EcoHealth Alliance, sebuah organisasi yang mengkaji hubungan antara kesihatan manusia dan hidupan liar berkata, dia dan para rakannya telapun  menganalisis setiap penyakit yang  muncul yang diketahui selama 60 tahun terakhir untuk menilai titik asal dari semua penyakit tersebut  dengan cara  menganalisis perubahan yang berlaku di tempat-tempat yang boleh menyebabkan pandemi muncul. Menurut Peter Dashak, “saat sahaya dan tim mengkaji data yang kami temukan menunjukkan bahawa perubahan penggunaan lahan – penukaran hutan tropis menjadi lahan pertanian dan peternakan secara massif – telah pun di kenal pasti dikaitkan dengan sekitar 30% penyakit  berjangkit  yang setakat ini diketahui,”.

Menurutnya lagi, mengapa gangguan terhadap habitat semula jadi ini membantu penyebaran penyakit adalah karena pelbagai aspek. Jelas Peter Daszak sambil menambahkan, “Pemusnahan dan penurunan habitat dapat mengurangkan kesihatan inang haiwan yang pada gilirannya membahayakan kekebalan mereka dan memungkinkan mereka pada akhirnya membawa patogen yang berbahaya” . Jikapun kita rujuk dari pendapat Peter Dashak ini maka kita akan menilai siapa yang salah dalam penyebab terjadinya pandemi ini dan mungkin pandemi sebelumnya dan berikutnya sehingga pun kita harus menengok kembali cara kita mengelola alam yang terlalu eksplotatif . 

Manusia & Alam Semulajadi, Hubungan Yang Saling Mengasingkan

Di era kapitalisme yang berdogma akumulatif, eksplotatif dan ekspansif ini telahpun kita rasakan hubungan yang tak sihat antara manusia dengan alam semula jadi. Dibawah ideologi yang akumulatif, eksplotatif dan ekspansif ini kehidupan kita sebagai manusia telah menjadikan diri kita  sebagai yang paling superior di rantai ekosistem sehingga cara pengelolaan kita terhadap bumi tidak lagi bijak bahkan bertolak belakang dengan  amanah Tuhan yang menurunkan manusia ke bumi untuk menjadi pengelola sekaligus penjaga bumi yang arif karena Tuhan mahu manusia menjadi Imago Dei (gambaran Tuhan) yang menjadi saluran berkat menjaga karya Tuhan di dunia ini. Didalam Islam sahaja, baik al-Quran dan Hadis telah memberikan kita banyak kerangka untuk kesejahteraan rohani dan jasmani. Menurut Hasan dan Cajee dalam journal bertajuk Islam: Muslim and Suistainable Development menghujahkan, jika terdapat lebih dari 500 ayat di dalam al-Quran yang memberi petunjuk kepada umat Islam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan alam sekitar dan cara menanganinya, dan terdapat banyak contoh dari kehidupan Nabi Muhammad dan ucapannya yang memberikan kita semua contoh yang sangat bagus tentang model keadilan dan kebijaksaan mengelola alam semulajadi. Namun sayangnya, semakin hari kita malahan semakin tidak adil, bijak atau seimbang dalam mengelola alam semula jadi punca masalah ini sebenarnya terletak pada  hubungan kita dengan alam yang saling mengasingkan atau dalam bahasa ilmiahnya disebut alienasi. 

Dalam esei ilmiahnya bertajuk “Manuskrip Filosofis Dan Ekonomi” yang ditulis oleh Karl Marx pada awal tahun 1814 konsep alienasi ini dikembangkan dalam konsep yang lebih luas dengan istilah “kerja yang  teralienasi” yang diakibatkan oleh pengaruh kerja dibawah kapitalisme. Dalam pandangan Marx keterasingan dalam hal kerja kita diakibatkan oleh keterasingan kita sendiri dari alam. Menurut Karl Marx dalam buku Das Kapital volume 1 di Bab 27 tentang pengambilalihan populasi pertanian dari tanah menjelaskan jika keterasingan kita dari alam di mulai dari hilangnya kepemilikan bersama atas tanah yang membuat banyak masyarakat pedesaan tidak memiliki sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka selain menjual tenaga kerja mereka ke kelas industri baru di perkotaan. Keterpisahan dari alam ini akhirnya menjadikan manusia lupa jika dirinya adalah bahagia dari alam sebagaimana dijelaskan oleh Mark dalam esei bertajuk kerja yang terasing yang merupakan bahagian dari “Manuskrip Filosofis Dan Ekonomi“. Manusia hidup di alam – artinya alam adalah tubuhnya, yang dengannya ia harus terus berinteraksi dalam kebermanfaatan jika tidak maka manusia itu akan mati. Kehidupan fisik dan spiritual manusia itu terkait dengan alam yang berarti bahawa alam terkait dengan dirinya sendiri karena manusia adalah bagian dari alam. Oleh karena itu dalam ajaran Marxisme alienasi terjadi bukan karena kesan semula jadi tetapi hasil dari kejuruteraan sosial.

Jika kita merujuk pada awal mula Revolusi Industri yang merupakan titik balik dalam peradaban kita hingga hari punca daripada revolusi industri bukan hanya soal “teknologi baharu” yang diperkenalkannya, tetapi karena transformasi hubungan sosial yang terkandung dalam teknologi baharu itu  yang  menjadikan peradaban kita berbeza dari sebelumnya. Namun perlu kita ketahui juga, transformasi ini tidak mencapai titik akhir yang stabil, tetapi terus menerus mengakibatkan krisis yang masih belum dapat diselesaikan hingga hari ini. Satu-satunya konsekuensi yang bisa kita rasakan dari perubahan ini adalah dominasi kehidupan sosial oleh modal sehingga apapun di alam semulajadi dipandangnya hanya dalam ukuran materalistis dengan bahasa yang ekonomis yang berpikir bagaimana untuk menjadikan untung yang berlipat ganda, dan akhirnya kita merasa dunia ini tidak cukup untuk memuaskan itu semua. Bahkan Marx dalam buku Das Capital volume 1 berhujah “… semua kemajuan dalam pertanian kapitalistik pada dasarnya adalah puncak dari kemajuan di bidang pertanian itu sendiri, namun kemajuan ini juga merampok kelas pekerja dan merampok tanah; sebenarnya  semua kemajuan dalam meningkatkan kesuburan tanah untuk waktu tertentu, adalah kemajuan menuju kepenghancuran sumber kesuburan yang abadi”. 

Maka benarlah kata Gandhi, ancaman terbesar masa depan kita bukan karena ketidakcukupun dunia ini untuk mencukupi kebutuhan kita  karena jika hanya unutk kebutuhan sahaja menurut Gandhi dunia ini sudah lebih dari cukup untuk menghidupi kita semua namun, jika ada keserakahan di dalamnya maka dunia dan isinya tak akan pernah cukup untuk  memenuhi kebutuhan kita. Alienasi ini juga bukan hanya berarti bahwa manusia tidak mengalami dirinya sebagai pelaku ketika menguasai dunia tetapi lepas dari pada perasaaan untuk menjaga dunia sebagai bahagian penting dari dirinya dan generasi setelahnya. Pola berpikir  manusia yang sudah teralienasi sangat rendah atau tidak ada kesadaran ekologis, karena telah terjebak pada pemikiran yang praktis dan berjangka pendek sehingga bagi kita kehidupan yang berkesadaran ekologis sangat pelik dan mahal padahal kembali kepada kesadaran ekologis bukanlah hanya milik kelas berjouis yang mempopularkan pola hidup back to nature dengan segala kemahalannya, ehwal macam ini pun sebenarnya bisa kita lakukan dengan langkah-langkah sederhana baik secara individual dan kelompok.

Tamadun Sosial Ekologi Sebagai Solusi 

Ekologi sosial menurut Murray Bookchin dalam bukunya bertajuk “Ekologi Dan Anarkisme: Sebuah Kumpulan Esai”, mendefinisikan ekologi sosial adalah pengakuan secara sosial atas fakta yang sering diabaikan bahawa hampir semua masalah ekologis kita saat ini muncul dari masalah sosial yang mendalam. Sederhananya, ekologi sosial ini beranggapan bahawa masalah ekologis tidak dapat diselesaikan secara tuntas jika tidak ada pemahaman yang mendalam untuk menangani masalah dalam masyarakat. Ekologi sosial kemudian menyedari bahawa masyarakat kita sekarang yang  hidup dibawah kapitalisme dengan logika pertumbuhannya yang tidak berkesudahan sudah tidak lagi mempedulikan kelestarian alam semulajadi. Logik pertumbuhan yang tak mengenal batas dengan banyak kebijakan neo-liberal yang menguntungkan hanya pihak elite sahaja telah membawa perusahaan kapitalis bertelagah dengan hidupan liar dalam mencari keuntungan, memaksa haiwan-haiwan  yang bisa membawa virus berbahaya keluar dari habitatnya dan sebahagian lainnya justru kita siksa dan jadikan makanan. Penguasaan alam telah mencapai tahap krisis di bawah kapitalisme, dan wabak virus adalah masalah ekologi yang harus kita alami mungkin  coronavirus ini akan berulang dalam bentuk pandemi yang lebih berbahaya di masa depan.

Tetapi harapan tetap ada, ada beberapa cara yang dapat kita  lakukan untuk mencegah penyebaran patogen ini dari protokol kesihatan standar seperti membasuh tangan, nyah kuman, jangan sentuh wajah, pakai topeng muka, bersihkan lingkungan sekitar kita dan karantina diri sekiranya anda menunjukkan gejala sakit. Tetapi penanganan lain yang melampaui protokol standar juga harus kita lakukan dalam bentuk perlawanan terhadap ideologi, sistem, kebijakan sampai pihak-pihak yang merusak alam karena tanpa menangani punca-punca permasalahan ini masalah seperti ini akan terus berulang. Kita harus terus melawan idea-idea keganasan untuk merusak alam semulajadi atas nama keuntungan jangka pendek mahupun panjang yang menguntungkan elite sahaja. Didik, gerakkan , implementasikan adalah langkah lain yang harus kita lakukan di tengah akar umbi lewat saluran komunikasi apapun agar mereka tahu dan sadar permasalahan sebenarnya dari krisis ekologi melampaui jebakan birokratik dan formalistik. 


Mansurni Abadi berasal dari Lampung, Indonesia. Mendapat pendidikan BA Psikologi di Universitas Muhammadiyah Lampung dan BA Ekonomi & Bisnes di Institute Business And Informatics Darmajaya Lampung. Kini beliau meneruskan pembelajaran Master di Institut Kajian Etnik, Universiti Kebangsaan Malaysia. Beliau juga merupakan aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, kader Hijau Muhammadiyah Malaysia dan pelbagai Ngo yang lain lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *