Dr Moeslim Abdurrahman : Penggagas Islam Transformatif
Oleh : Hasnan Bachtiar
Istilah Islam Transformatif dipelopori dan dipopularkan oleh Moeslim Abdurrahman. Beliau adalah seorang cendekiawan Muslim, intelektual dan aktivis masyarakat sivil, serta mentor kepada gerakan intelektual muda Muhammadiyah yang progresif iaitu Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah. Kang Moeslim, sapaan akrabnya, pernah menjabat sebagai salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Bidang Pemberdayaan Buruh, Petani dan Nelayan.
Beliau yang dilahirkan pada 8 Ogos 1948 dan menjalani pendidikan awalnya di dunia pesantren di Pesantren Kertosono, Jawa Timur. Beliau kemudian menyelesaikan pengajian di peringkat ijazah sarjana muda dalam bidang Pendidikan Islam di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sebelum menyambung pengajian pada peringkat sarjana dan doktor falsafah dalam jurusan antropologi di University of Illinois at Urbana-Champaign di Amerika Syarikat.
Beliau juga pernah menjadi Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) dan merupakan salah seorang daripada pendiri dan penasihat kepada Maarif Institute. Selain itu, beliau juga merupakan penasihat di Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan merupakan pendiri al-Ma’un Institute.
Di akhir riwayat hidupnya, beliau telah mendirikan pusat kajian ilmu sosial transformatif di Gunung Kidul, Yogyakarta dengan nama Sekolah Sumbu Panguripan. Sumbangannya terhadap gagasan Islam transformatif begitu besar bagi seluruh generasi bangsa.
Kang Moeslim turut mengarang beberapa buku dalam bidang agama dan masyarakat yang semuanya terisi dengan kritik sosial yang tajam (teologi transformatif). Di antara buku-buku tersebut adalah Menafsirkan Islam dalam Tradisi dan Persoalan Umat (1990), Kang Thowil dan Siti Marginal (1995), Islam Transformatif (1995), Semarak Islam, Semarak Demokrasi (1997), Islam sebagai Kritik Sosial (2003), Islam yang Memihak (2005), dan yang terakhir adalah Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (2009).
Islam Transformatif
Intisari daripada konsep Islam transformatif yang ditawarkan adalah Islam yang memikirkan dan menyelesaikan pelbagai persoalan sosial dan kemanusiaan yang dihadapi oleh umat manusia. Gagasan ini terangkat daripada kritikan terhadap teologi/kalam tradisional yang selalu terjebak dalam trend pemikiran skolastik. Di samping itu, karakter khas daripada skolatisme Islam yang masih dipertahankan hingga kini adalah legal-sentrisme atau fiqih-sentrisme. Segala sesuatu yang berbentuk pemikiran rasional manusia akhirnya dihukum dengan istilah “benar dan salah”.
Dalam konteks ini, jelas sekali kecenderungan untuk berfikir melalui pandangan dunia yang dualistik semata, seperti hanya menekankan persoalan “halal-haram”, “dosa-pahala”, serta “hitam-putih”. Sementara kenyataan sosial yang menunjukkan penderitaan umat, tidak dianggap sebagai sesuatu hal yang perlu diperhatikan (Moeslim Abdurrahman, 1997: 17). Padahal, ajaran agama yang paling penting adalah meletakkan kedudukan nilai dan martabat kemanusiaan di tempat yang luhur.
Seluruh kritikan yang diajukan tersebut sebenarnya bukan untuk memperbetulkan agama itu sendiri. Sasaran utama kritikannya adalah “pemikiran” Islam (teologi) yang hegemonik, sehingga tidak mempunyai ruang untuk menyelesaikan persoalan krisis kemanusiaan yang jelas kelihatan.
Melalui kritikan ini, diharapkan akan terumus formulasi baru mengenai teologi (Islam) yang mulai menaruh perhatian dan memiliki pemberatan yang jelas terhadap krisis kemanusiaan. Dengan kata lain, wahyu Allah telah diterjemahkan dengan cara yang tepat, emansipatoris, liberatif dan transformatif. Kerana itu Islam memiliki posisi yang senntiasa relevan dengan perubahan zaman, dengan pelbagai persoalannya (Moeslim, 1997: 16).
Kitab Suci dan Keadilan Sosial
Namun demikian, keupayaan pembacaan firman-firman Allah secara kritis tersebut tidak hanya bersifat deduktif daripada kitab suci menuju realiti tetapi juga bersifat dialektis-reflektif dalam rangka membaca, mendiagnosis dan menyikapi pelbagai kenyataan empiris (pelbagai krisis sosial dan kemanusiaan) melalui perspektif nilai-nilai etika teologi (Islam) (Moeslim, 1989: 153).
Dalam satu kesempatan, Kang Moeslim menegaskan bahawa, “…semua kitab suci…menjadi ruh teologis bagi gerakan yang memihak keadilan sosial, sehingga muncul kekuatan kolektif yang berangkat dari kesadaran bahwa setiap bentuk hegemoni kekuasaan yang ingin melestarikan kekerasan dan ketidakadilan merupakan kemungkaran yang selalu mengancam keutuhan sendi-sendi kemanusiaan.” (Moeslim, 2009: 43-44).
Ikhtiar Kang Moeslim untuk mereformasikan semula ajaran Islam ini adalah agar dasar keagamaan setiap Muslim mampu memberikan pemberatan terhadap persoalan keadilan sosial. Khususnya yang menimpa siapa saja yang terikat secara sosial. Dengan demikian, hal ini merupakan sikap teologis yang mencuba menghimpunkan kekuatan simbolik Islam, yang berfungsi secara sosial untuk mewujudkan segala perintah agama itu sendiri. Seperti menegakkan keadilan sosial dan membangun kesejahteraan umat (Moeslim, 2003: vi).
Jelas bahawa tindakan yang harus dilakukan atas nama Islam ini bukanlah aksi individual semata-mata tetapi menjangkau seluruh aspek sosial kebudayaan yang diharapkan mampu bergerak secara besar-besaran dan kolektif.
Dari Teologi Ke Transformasi
Secara falsafahnya, ajaran ini merupakan hasil penilaian kritis terhadap pelbagai wacana teologi Islam. Kang Moeslim meyakini bahwa, di dalam sejarah Islam, risalah tauhid sebagai pesanan ilahiah. Diturunkan bukan di ruang hampa, tetapi memiliki tujuan pragmatis yang mulia, antara lain untuk mendorong adanya humanisasi di tengah masyarakat Arab Jahiliyah yang penuh dengan krisis kemanusiaan pada saat itu (Moeslim, 2005: 2).
Melalui pengertian ini, tauhid bermakna moraliti yang paling fundamental untuk menegaskan ideologi politik kaum Muslim. Bahawa ketidakadilan, krisis kemanusiaan dan kemiskinan adalah ancaman yang serius. Jika segala masalah kemanusiaan tersebut diakibatkan oleh tangan-tangan jahat struktur daripada kuasa yang menindas maka sebagaimana peranan nabi, Islam transformatif harus berusaha melawan penindasan tersebut.
Secara lebih terperinci, Kang Moeslim menjelaskan bahawa, teologi Islam memiliki beberapa syarat, agar supaya benar-benar berfungsi secara transformatif. Syarat tersebut adalah:
Pertama, teologi Islam harus bervisi sosial-emansipatoris.
Kedua, memerlukan kontekstualisasi nilai etika kitab suci, serta bukan tekstualisasi.
Ketiga, peranan liberatif agama ini merupakan hasil daripada dialog terbuka antara teks dan konteks, sehingga melahirkan suatu penghayatan terbaik yang memihak kemanusiaan.
Keempat, asas ortodoksi Islam harus dimaknakan sebagai tumpuan untuk kepentingan umat (yang bersifat bervisi dan futuristik).
Kelima, orientasi keislaman bukan sekadar ortodoksi tetapi juga ortopraksi.
Keenam, para intelektual, komuniti, serta institusinya harus berfungsi kritis khususnya terhadap pengaruh struktur yang dominatif, hegemonik dan menindas.
Oleh kerana itu, menurut hematnya, ijtihad menjadi jalan terbaik dalam rangka meluruskan setiap bentuk penyimpangan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan (Moeslim, 1989: 160).
Aras Islam Transformatif
Dalam projek kontekstualisasi gagasan Islam transformatif ini, Kang Moeslim kerap menekankan bahwa dalam persoalan kesedaran keagamaan (wilayah akidah) dan ibadat (wilayah syariah/ubudiyah), bukan menjadi bidang garapannya. Dalam pengertian beliau, kedua hal tersebut sudah bersifat muktamad (taken for granted), sementara kita hanya perlu untuk melaksanakannya dengan baik. Ada pun perbezaan-perbezaan yang ada mengenai persoalan tersebut, bukanlah perbezaan yang fundamental, karena bersangkut dengan bidang furu’iyyah dalam pemikiran keagamaan.
Sementara itu, Islam transformatif menyentuh persoalan-persoalan dasar keagamaan, paradigma berfikir dan bagaimana meletakkan visi ajaran agama Islam yang lebih liberatif-emansipatoris tatkala berhubungan dengan fenomena ketidakadilan, kepincangan sosial dan krisis kemanusiaan.
Secara lebih jauh ia menyatakan bahawa, “…bagaimana agama sebagai wacana keimanan mampu melakukan pergulatan sejarah yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, sehingga agama tetap mempunyai kekuatan profetik untuk mengubah keadaan dan menjadi hidayah bagi terwujudnya masyarakat yang damai dan berkeadilan.” (Moeslim, 2009: 43-44).
______________________________________________________________________________
Hasnan Bachtiar merupakan penyelidik di Pusat Studi Islam dan Filsafat di Universitas Muhammadiyah Malang, Indonesia. Beliau juga adalah Presedium Nasional Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah.